Time flies, people changed
Love never dies
But the person just falls into other girls
You died, once
You move on, twice
It’s a life
Saya mengutip puisi ini dari majalah online Sepocikopi sebanyak dua kali. Yang pertama ketika saya menulis sebuah artikel untuk Sepocikopi, dan yang kedua dalam artikel ini. Saya menyukai makna kata-kata dalam puisi ini. Apalagi bagi saya yang baru saja merasakan namanya patah hati (lagi).
Move on. Sepertinya kita sangat sering mendengar dua kata ini bahkan sering mengucapkannya ketika ada teman atau sahabat yang masih saja galau karena diputus oleh kekasihnya. Saya pribadi sering mengalami yang namanya move on ini sesering saya berganti kekasih. Bahkan dulu ketika saya masih aktif menulis sebagai blogger, saya sering menasehati pengunjung blog yang mencurahkan kegalauannya kepada saya untuk segera move on.
Menjadi seseorang yang sering menerima curahan hati dan memberikan nasehat panjang kali lebar kali tinggi, tak lantas mudah bagi saya ketika mengalami patah hati untuk kesekian kalinya. Seperti yang saya alami ketika saya berpisah dengan Z. Selama satu bulan pertama, saya menikmati rasa sakit dan berusaha mengumpulkan keberanian untuk menceritakannya kepada sahabat-sahabat terdekat yang mengetahui hubungan saya dengan Z.
Kedua sahabat terdekat saya memberikan dua respon berbeda. Sahabat pertama berkata “Oh, kenapa putus? Ada yang lain? Makanya jangan tepe-tepe terus, bejooo.”, sementara sahabat kedua lebih berperasaan. “Hah?! Kok bisa??? Aku pikir sama yang ini bisa awet lama, Joooo.” Setelah itu mereka sama-sama berkata, “Ya udah. Yang sabar ya, Jo. Nanti kamu juga bisa bangkit lagi seperti biasanya.” layaknya saya sering kehilangan ponsel dan dengan mudah mendapat gantinya lagi.
Setelah hampir setengah tahun berlalu, kami sesekali saling menyapa menanyakan kabar. Dan jawaban saya masih sama. Belum move on. Sahabat saya hanya tertawa dan yakin waktu akan menyembuhkan saya. Mereka sangat yakin saya sudah tahu semua hal yang harus dilakukan untuk bangkit dari keterpurukan jadi mereka tidak merasa harus repot memberikan petuah.
Saya tahu kali ini saya sulit untuk mengandalkan kekuatan diri saya. Alhasil saya menyapa dua orang teman yang jarang saya hubungi ketika saya masih bersama Z. Yup, bukan cuma kamu kok yang berpikir bahwa saya menghubungi mereka kalau saya ada maunya atau saya kesepian. Saya juga memiliki asumsi yang sama. Bahkan salah seorang dari mereka, Fi, dengan tegas meledek bahwa saya sedang memproklamirkan kejombloan saya.
Kalau mau dibilang menyiksa diri, mungkin saya sedang menguji kemasokisan saya dengan tetap bertahan berkomunikasi dengan Fi. Fi seorang perempuan hetero. Satu-satunya hetero yang mengetahui keberadaan saya di dunia nyata dan saya sebagai Jo. Ia tidak menerima segala jenis drama, jadi mencurahkan hati kepadanya merupakan hal terakhir yang paling mungkin untuk saya lakukan. Fi jelas-jelas berkata bahwa mengalihkan kesedihan dengan cara mendekatinya adalah hal yang sia-sia karena tidak akan membuat saya move on.
Ketika saya bertanya kepadanya cara apa yang paling ampuh untuk membuat saya bisa move on, ia dengan santai menjawab, “Nikmati saja, Jo. Nangis saja sampai airmata nggak keluar lagi. Karaoke lagu-lagu patah hati. Lama-lama kamu bakalan capek sendiri kok.” Bisa dikatakan saya cukup “beruntung” bisa menerima tamparan seperti ini di tengah-tengah masa kebangkitan saya. Kali ini saya meletakkan semua harga diri saya dengan mengikuti semua yang dikatakan oleh Fi.
Saya menikmati semua kesakitan saya. Membuka tas perjalanan berisi tiket dan pesanan hotel kedaluwarsa yang tidak pernah saya gunakan. Melihat lembar paspor berisi persetujuan visa ke negara yang tidak jadi saya kunjungi. Saya mengambil tiket dan lembar pesanan hotel untuk saya hancurkan di kantor. Membaca email-email dan percakapan lama saya dengan Z termasuk ketika saya mengirimkan anggur kesukaannya beserta bunga cokelat dan sebuah boneka beruang putih mini di hari jadi kami yang pertama. Saya mengernyit menahan rasa sakit ketika melihat kata-kata cinta yang Z ucapkan kepada saya. Lalu saya melihat percakapan kami sebulan setelahnya. Pertengkaran kami. Kalimat Z yang meminta maaf karena terpaksa memutuskan saya. Dalam waktu satu bulan dunia saya berubah 180 derajat. Lalu saya mulai mendatangi tempat-tempat yang pernah kami kunjungi termasuk salah satu museum di Bogor, tempat pertama saya memberikan kejutan untuk Z.
Saya membuka draft akun gmail saya dan membaca kembali email yang tidak pernah saya kirimkan kepada Z. Email yang berisikan hal-hal yang saya tahu tentang Z selama kebersamaan kami. Hal yang selalu membuat Z merasa saya tidak menghargainya sebagai pasangan dan merasa saya tidak mengenalnya dengan baik. Dan membuat saya meringis karena ternyata hanya sedikit yang saya ketahui tentang Z dan membuat saya merasa tidak bisa menjadi pasangan yang baik untuk dirinya.
Perlahan, saya mencoba memperbaiki komunikasi saya dengan Z, sebagai teman. Berusaha menahan ego saya ketika tanggapan yang saya terima tidak sesuai dengan harapan saya. Dan puncaknya ketika saya pada akhirnya mengetahui sebuah hal yang membuat saya merasa tidak memiliki harapan lagi untuk kembali bersama Z, akhirnya saya menyerah. Hari itu saya menangis sejadi-jadinya, merasakan suhu tubuh saya meningkat tajam, membuat saya harus terkapar di ranjang selama dua hari, dan menelan parasetamol berkali-kali.
Malam itu saya berdoa meminta kepada tuhan untuk tidak memberikan drama lagi dalam hidup saya. Saya tidak meminta tuhan untuk menghapuskan ingatan saya tentang kebersamaan saya bersama Z seperti yang pernah saya lakukan sebelumnya. Saya tidak meminta tuhan untuk memberikan saya pengganti Z. Saya tidak meminta tuhan untuk memberikan saya kekuatan menghadapi perasaan sedih ini.
Saya hanya meminta kepada tuhan agar Z dapat bahagia bersama siapapun yang mungkin bersamanya saat ini. Meminta tuhan memberikan kelancaran dan kemudahan baginya dan mengutus malaikat untuk selalu menjaganya karena saya tak bisa lagi menjaga dirinya.
So, saya harus berterima kasih kepada Fi, karena saya sadar, pada akhirnya saya hanya butuh satu kali saja untuk mengalami kematian. Namun saya meyakini diri saya untuk berkali-kali bangkit dari keterpurukan sebelum kematian itu tiba. Everything happened for a reason and life goes on, right? Saya hanya perlu bersabar untuk mengetahui alasannya suatu hari nanti.
this is sad…
aku jadi ngerasa perlu minum paracetamol, wine dan menghabiskan es krim di freezer
*not kidding
hmm aku yakin Z juga susah move on mengingat besarnya cintamu pada dia
apalagi kalo dia baca tulisan ini
kak jo dahsyat banget ya kalo lagi patah hati
ampe demam ck ck
ok kalo gitu aku jug mau ikutan menerapkan ”terapi masokis” ini untuk mengendalikan ketidak-move-on-an diriku :))
kak! *angkat tangan
friends -3 kapan munculnya trus ada extended version nya ga?
Tetap semangaatt!!!!!
Oh, God!!
Saya ikutan sedih membaca rangkaian kata milikmu ini (tp ga sampe nanis sieh).
Btw, keep on moving, Jo. Keep climbing, keep the faith….its all about the climb…#loh